Survey 34 Persen Pilih AI Jadi Bos daripada Manusia karena Lebih Adil

Survey 34 Persen Pilih AI Jadi Bos daripada Manusia karena Lebih Adil

Tak sedikit yang memilih kecerdasan buatan (AI) buat menjadi atasan ketimbang manusia dengan dalih lebih adil. Hal ini juga berlaku di sejumlah bidang, termasuk percintaan. Hal itu merupakan hasil survei Kaspersky terbaru bertajuk ‘Excitement, Superstition and great Insecurity – How global Consumers engage with the Digital World’. Survei yang digelar pada Juni 2024 oleh Arlington Research ini dilakukan secara daring terhadap 10.000 responden. Sampelnya mencakup 1.000 responden dari masing-masing negara, yakni Indonesia, Inggris, Jerman, dan Prancis, serta 500 responden di Spanyol, Italia, Portugal, Brasil, Meksiko, Rusia, Kazakhstan, India, Tiongkok, Turki, Arab Saudi, UEA, dan Afrika Selatan.

“Studi tersebut juga menemukan bahwa saat ini kecerdasan buatan mengambil peran baru di bidang-bidang tertentu,” menurut keterangan pers Kaspersky, Rabu (14/8).

“Menurut studi tersebut, responden melihat AI sebagai bagian dari mereka di tempat kerja, dan seorang manajer – 34 persen [responden] percaya AI dapat menjadi bos yang lebih adil daripada manusia,” lanjut pernyataan itu.

Menurut data Similarweb, mesin AI yang paling populer masih ChatGPT. Platform ini mendapat 153 juta kunjungan pada bulan pertama setelah peluncurannya pada November 2022, dan mencapai puncaknya pada 2 miliar kunjungan di April 2024. Sebaliknya, survei ini juga menemukan 51 persen yakin AI akan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan karena menggantikan banyak pekerjaan.

Selain itu 38 persen yakin AI akan membuat orang tidak bisa membedakan mitra percakapan ‘nyata’ dari mitra percakapan buatan secara daring, baik itu chatbot layanan pelanggan atau calon pasangan di aplikasi kencan. Terpisah dari survei ini, Daniel Andler, profesor emeritus bidang Filsafat Sains di Sorbonne Université, Prancis, mengungkap soal ketiadaan emosi pada ‘kecerdasan’ non-manusia itu. Menurut dia, hampir pasti ada sesuatu yang hilang jika kita ingin sedekat mungkin dengan kecerdasan manusia.

“Secara historis, John Haugeland (profesor bidang sains kognitif di University of Chicago)-lah yang mengembangkan gagasan tentang unsur yang hilang dalam AI,” ujarnya, dikutip dari Polytechnique insights.

“Kita sering berpikir tentang kesadaran, intensionalitas, otonomi, emosi, atau bahkan tubuh,” urai Andler.

Dipercaya lintas bidang

Tak cuma soal pekerjaan, studi ini juga menyoroti AI di pendidikan, perniagaan, seni, hingga percintaan.

“Seiring terus berkembangnya teknologi AI, potensinya untuk mendorong inovasi dan meningkatkan pengalaman manusia menjadi semakin mendalam,” ungkap Vladislav Tushkanov, Manajer Grup Pengembangan Riset di Kaspersky, dalam keterangan tertulis.

“Namun, kemajuan ini juga membawa risiko yang tidak terduga dan ancaman canggih, mulai dari ketergantungan yang berlebihan -kepercayaan berlebih pada saran AI – hingga phishing yang dihasilkan AI, deepfake, dan pencurian identitas.”

“Inilah tantangan yang perlu kita atasi di berbagai level,” sambungnya.

Dalam keseharian, survei menemukan AI dianggap sebagai pendamping dan asisten yang dapat diandalkan. Lebih dari separuh responden (57 persen) ingin menggunakan AI untuk menjalankan kehidupan sehari-hari mereka dengan lebih efisien. Dalam bidang pendidikan, survei menemukan hampir setengah responden (47 persen ) memperkirakan anak-anak akan diajari melalui pengalaman virtual dan metaverses dalam waktu dekat.

Di luar itu, setengah dari semua konsumen (50 persen) percaya AI menjadi bagian yang tidak dapat dihindari dalam hidup mereka. Tak ketinggalan, mayoritas responden mengakui AI memiliki kemampuan di area kreatif, dengan 62 persen-nya percaya AI adalah produsen karya seni yang kredibel. Dalam hubungan sesama manusia, hampir separuh responden (48 persen) siap menggunakan chatbot AI untuk melakukan percakapan daring, 31 persen akan menggunakannya untuk membantu mereka menemukan pasangan yang tepat di aplikasi kencan. Sebanyak 48 persen juga percaya hubungan manusia akan berubah karena dampak AI jika karakter virtual mulai menggantikan pasangan di dunia nyata.

LINK TERKAIT :

TAGS :

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *