BERITA TERBARU HARI INI – Rujak Cingur Merupakan Makanan Khas Daerah Jawa Timur, Warisan Kuliner yang Memukau. Rujak cingur merupakan makanan khas daerah Jawa Timur yang telah menjadi ikon kuliner, khususnya di kota Surabaya. Hidangan yang menggabungkan berbagai bahan segar dengan bumbu khas ini telah ada sejak tahun 1930-an, dibawa oleh para pendatang dari Pulau Madura yang mencoba peruntungan di kota pahlawan. Keunikan cita rasa dan kombinasi bahan-bahannya menjadikan rujak cingur sebagai salah satu kuliner yang wajib dicoba ketika berkunjung ke Surabaya.
Sebagai makanan yang telah mengakar dalam budaya Jawa Timur, rujak cingur merupakan makanan khas daerah yang memiliki cerita sejarah yang menarik. Awalnya, pedagang Madura menggunakan petis ikan cakalang dalam pembuatannya, namun untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat Surabaya yang mayoritas bersuku Jawa, mereka mulai menggunakan petis udang. Adaptasi ini menunjukkan bagaimana rujak cingur merupakan makanan khas daerah yang berkembang seiring dengan dinamika sosial budaya masyarakatnya.
Menariknya, rujak cingur merupakan makanan khas daerah yang namanya berasal dari bahasa Jawa “cingur” yang berarti mulut, atau dalam bahasa Madura disebut “cengor”. Nama ini merujuk pada penggunaan irisan hidung atau moncong sapi yang direbus sebagai salah satu bahan utamanya, memberikan keunikan tersendiri yang tidak ditemukan dalam jenis rujak lainnya di Indonesia.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber sejarah dan cara membuat rujak cingur, pada Selasa (28/1).
Sejarah dan Perkembangan Rujak Cingur
Perjalanan rujak cingur sebagai makanan khas Surabaya dimulai dari para pendatang Madura yang membawa kreasi kuliner ini ke kota pahlawan. Pada awal kemunculannya di tahun 1930-an, rujak cingur menjadi alternatif mata pencaharian bagi para pendatang yang mencoba peruntungan di Surabaya. Kreasi kuliner ini kemudian mengalami berbagai adaptasi untuk menyesuaikan dengan selera lokal.
Salah satu adaptasi penting dalam sejarah rujak cingur adalah perubahan penggunaan petis dari petis ikan cakalang khas Madura menjadi petis udang yang lebih disukai masyarakat Surabaya. Perubahan ini mencerminkan bagaimana kuliner tradisional dapat beradaptasi dengan preferensi lokal tanpa kehilangan esensi aslinya.
Meski ada yang menyebutkan bahwa rujak cingur telah ada sejak masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-12, namun catatan sejarah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan menunjukkan bahwa kuliner ini mulai populer di Surabaya pada era 1930-an. Perkembangannya kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Jawa Timur seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Malang.
Dalam perkembangannya, rujak cingur mengalami beberapa modifikasi dalam hal penyajian. Salah satunya adalah munculnya variasi “matengan” yang hanya menggunakan bahan-bahan matang, mengakomodasi selera konsumen yang tidak menyukai buah-buahan mentah. Hal ini menunjukkan bagaimana kuliner tradisional ini mampu beradaptasi dengan preferensi modern tanpa kehilangan ciri khasnya.
Karakteristik dan Bahan-bahan Khas
Rujak cingur memiliki karakteristik yang membedakannya dari jenis rujak lainnya di Indonesia. Penggunaan cingur atau moncong sapi yang direbus menjadi pembeda utama yang memberikan tekstur kenyal khas pada hidangan ini. Kombinasi berbagai bahan seperti sayuran, buah-buahan, tahu, tempe, dan lontong menciptakan harmoni rasa yang unik.
Bumbu rujak cingur menjadi elemen penting yang memberikan cita rasa khas. Kombinasi petis udang, kacang tanah goreng, gula merah, cabai, dan pisang biji hijau muda menciptakan bumbu yang memiliki kompleksitas rasa gurih, manis, pedas, dan sedikit asam. Keseimbangan rasa ini menjadi kunci popularitas rujak cingur di kalangan pecinta kuliner.
Dalam penyajiannya, rujak cingur memiliki dua variasi utama: penyajian “biasa” dan “matengan”. Penyajian biasa mencakup semua bahan mentah dan matang, sementara versi matengan hanya menggunakan bahan-bahan yang telah dimasak. Keduanya menggunakan bumbu yang sama, namun memberikan pengalaman makan yang berbeda.
Variasi bahan yang digunakan dalam rujak cingur mencerminkan kekayaan hasil bumi Jawa Timur. Penggunaan kerahi (krai) yang merupakan sejenis timun khas Jawa Timur, serta berbagai sayuran dan buah-buahan lokal menunjukkan bagaimana kuliner ini memanfaatkan potensi bahan pangan lokal secara optimal.
Nilai Budaya dan Sosial
Rujak cingur bukan sekadar hidangan, melainkan representasi dari nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Jawa Timur. Cara penyajian tradisional menggunakan pincuk (daun pisang) mencerminkan kearifan lokal dalam penggunaan bahan alami sebagai wadah makanan. Praktik ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memberikan aroma khas pada hidangan.
Keberadaan rujak cingur juga mencerminkan akulturasi budaya antara masyarakat Madura dan Jawa. Adaptasi penggunaan petis dari ikan cakalang menjadi petis udang menunjukkan bagaimana kuliner dapat menjadi media pemersatu antarbudaya. Hal ini memperkaya khazanah kuliner nusantara sekaligus menunjukkan fleksibilitas tradisi kuliner dalam beradaptasi dengan preferensi lokal.
Perkembangan pemahaman agama juga mempengaruhi evolusi rujak cingur, seperti terlihat dari berkurangnya penggunaan dhidhih (darah goreng) sebagai salah satu isiannya. Perubahan ini menunjukkan bagaimana kuliner tradisional dapat beradaptasi dengan nilai-nilai religius yang berkembang di masyarakat tanpa kehilangan esensinya.
Di Jawa Timur, khususnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya, kata “rujak” secara umum merujuk pada rujak dengan bumbu petis, berbeda dengan daerah lain yang mengasosiasikannya dengan rujak buah. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sebuah kuliner dapat membentuk identitas regional yang kuat.